Saya dan Pendidikan

November 2, 2010 oleh Dodi Kurniawan

Tahun 1980-an saya mulai mengenyam pendidikan formal. Sungguh menyesakkan dada! Sejak awal saya tidak menyukai sekolah. Taman Kanak-Kanak tidak sampai tuntas diikuti, kemudian masuk ke Sekolah Dasar. Satu tahun pertama tidak cukup membuat saya bisa menulis dengan baik. Untungnya kemampuan membaca membantu banyak untuk menaikkan saya ke kelas dua. Barangkali saya memang tidak akademis, jadi agak susah untuk belajar formal. Kesimpulan ini saya dapatkan ketika dengan susah payah (susahnya memperjuangkan minat dan payahnya untuk menjaga semangat) berusaha menamatkan kuliah.

Namun diluar semua itu, saya ternyata sangat mengagumi profesi guru. Sebagai perbandingan, sejak kecil saya memiliki apresiasi yang lumayan tinggi terhadap keahlian dan ketukangan. Seorang tukang panjat dan tebang kelapa pernah menjadi profesi favorit saya waktu kecil demi melihat keahliannya memanjat, memetik dan mengupas kelapa dengan menggunakan tongkat kayu yang diruncingkan ujungnya. Atau, tukang tebang kelapa yang bisa dengan lihainya di ketinggian duduk pada ujung puncak pohon kelapa yang sudah dipotong pucuk dan daunnya.

Atau, mengamati tukang kayu yang dengan mudahnya menggunakan rimbas–sejenis alat perapih kayu dengan bentuk seperti cangkul kecil dengan lidah pemapasnya yang melengkung. Begitu juga dengan tukang gergaji kayu, tukang sabit rumput. Malah waktu menginjak usia SMP, saya pernah bercita-cita ingin menjadi sopir bis. Cita-cita tumbuh karena seminggu sekali mendapat kesempatan mengamati asyiknya sopir bis (yang saat itu terasa sangat besar) dalam perjalanan Singaparna-Mangkubumi untuk mengikuti pelajaran renang di kolam renang Mangkubumi.

Bila kemudian saya memiliki kekaguman kepada sosok guru, maka itu samasekali bukan hal yang luar biasa. Kalimat ini tidak dimaksudkan bahwa guru bukanlah sosok yang luar biasa, tapi kekaguman saya akan guru merupakan hal yang sangat bisa diterima. Meski tidak menyukai sekolah, tapi selalu ada setidaknya satu nama di masing-masing jenjang sekolah yang begitu lekat di ingatan: Ibu Sumi untuk TK, Ibu Euis untuk SD, Pak Ateng untuk SMP, Pak Yusuf Arisyadi dan Pak E.Z. Alfian untuk SMA. Adapun sewaktu kuliah, dosen yang paling mudah untuk diingat adalah Pak Dudung–beliau adalah dosen pembimbing skripsi.

Beliau-beliau inilah yang ketika proses belajar mengajar berlangsung justru membuat saya membayangkan kalau beliau-beliau itu adalah saya sendiri alih-alih belajar sebagaimana yang teman sekelas lainnya jalani. Inilah yang kemudian terjadi. Hari ini, sudah 10 tahun saya menjadi guru (seorang instruktur dalam satu diklat menegaskan bahwa yang tepat itu ‘menjadi’ guru bukan ‘jadi’ guru, sebab dalam kata menjadi ada the ongoing proccess of being). Meski seringkali merasa risih menyandang predikat luhur sebagai guru atau pendidik, tapi tentu saja bukan merupakan alasan untuk tidak mempertahankannya. Malah profesi guru inilah yang kemudian menyadarkan saya, bahwa pendidikan formal ternyata tidaklah sepenuhnya membosankan–bila tidak boleh disebut mengerikan. Kini ada bara semangat di hati untuk meneruskan studi ke jenjang yang lebih tinggi dan yang paling tinggi. Ini samasekali tidak ada hubungan dengan sebutan di akhir nama atau di depan nama, tapi demi nama profesi mereka yang saya kagumi, bahkan lebih jauh lagi demi pendidikan itu sendiri.

Pendidikan yang lebih tinggi pun bukan untuk memandaikan diri semata, melainkan untuk membuka atau setidaknya menyegarkan kembali diri. Bila seorang pendidik selalu tampil segar maka diharapkan peserta didiknya pun terinspirasi untuk berperilaku serupa. Kepandaian saja tidak cukup. Konon ruang kuliah tempat Isaac Newton memberi kuliah termasuk ruang kuliah minim peminat. Berbanding terbalik dengan suburnya pemikiran sang maestro fisika mekanika tersebut, bukan?

Harap tenang bagi siapapun yang diberi karunia kecemerlangan. Ia tetap bisa jadi pendidik kok! Richard Feynman adalah contoh populer untuk gabungan manis antara kepandaian dan pedagogis. Justru giliran saya yang tercenung. Dimana posisi saya?

Meski getir saya harus tangguh. Sejak tujuan inti dari pendidikan adalah perubahan perilaku, maka pertama-tama dari guru sendirilah segala sesuatunya bermula. Ibda binafsik–mulailah dari diri kamu sendiri!–begitu nasihat dari Guru Jagat, Hadhrat Muhammad Mustafa SAW. Meski selalu ada ruang subjektivitas bahkan dalam dunia pendidikan sekalipun, namun ajaran do-as-I-say-not-as-I-do-isme terlarang dalam dunia pendidikan. Contoh sederhana dari integritas dalam dunia pendidikan dapat kita temukan pada dalam pernyataan Hadhrat Muhammad SAW: shalluu kamaa raitumuunii ushallii–shalatlah sebagaimana kalian melihat bagaimana aku shalat. Inilah ajaran do-as-I-do-isme alias ketauladanan. Karakter pendidikan inilah yang berhasil menjadikan mediah sebagai sekolah alam tersukses di dunia. Betapa tidak, dengan raw input peserta didik para nomaden dan barbar namun output dan outcome-nya sungguh luar biasa. Mereka bukan hanya lulus bahkan menjadi guru-guru dunia dalam berbagai disiplin ilmu!

Untuk kedua kalinya saya tercenung. Betapa beratnya tugas sebagai pendidik! Namun di lain sisi indahnya visi pendidikan teramat layak untuk diperjuangkan. Sungguh merupakan kehormatan yang tak terbayangkan menjadi bagian dari hal luar biasa ini!

Tinggalkan komentar