Aku Bertanya Maka Aku Ada

November 2, 2010 oleh Dodi Kurniawan

Seorang siswi mengirim sms yang menarik. Isinya kurang lebih begini: seorang pemburu terjebak dalam keadaan sulit, ia terpaksa berhadapan dengan seekor singa. Malangnya sang pemburu kalah gesit dari sang singa. Singa berhasil menggigit tangannya. Alih-alih menyerah kepada rasa nyeri yang teramat sangat lalu berusaha melepaskannya, sang pemburu malah memasukkan tanggannya jauh kedalam dada sang singa untuk mengambil jantungnya.

“An epic!” balas penulis sekaligus apresiasi atas sms yang mengejutkannya tersebut. Beberapa hari setelah itu, penulis menemukan arti lain dari sms: so many things to say.

Hidup lebih kurang seperti itu. Pertanyaan tua namun senantiasa diajukan dari masa ke masa—tentu saja dengan sedikit banyak perubahan redaksionalnya—untuk memperjuangkan free will: Mengapa kita mesti terlahir di semesta ini? Mengapa kita mesti tidak bebas untuk menentukan? Mengapa kita mesti tunduk pada satu aturan?

Jawaban cerdas, akademis, filosofis dan relijius telah banyak diberikan untuk menjawabannya. Beberapa dari kita masih dan tengah memikirkan jawaban berbeda; beberapa diantara kita menunjukkan sikap gusar atas pertanyaan-pertanyaan tadi; atau beberapa diantara kita malah ada yang mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan itu sendiri.

Penulis memilih untuk memasukan diri kedalam mereka yang mencari jawaban berbeda. Bukan karena alasan kapasitas tentunya saja, melainkan semata karena terinspirasi oleh sms siswi yang penulis sampaikan di awal.

Penulis menganolgikan adanya kita dalam kehidupan ini seumpama keadaan sang pemburu dengan singanya. Mempertanyakan mengapa kita ada, adalah manusiawi dalam arti yang sesungguhya. Hanya kita, manusia, yang bisa—dan kita memang diciptakan untuk—mengajukan pertanyaan ini. Namun, diatas semuanya, yang harus kita lakukan adalah mengambil ‘jantung’nya kehidupan. Sebatas mengajukan pertanyaan, terlebih bila dimaksudkan untuk mengelak dari kenyataan, adalah kelemahan. Dalam analogi sang pemburu dengan singanya, sang pemburu akan menjerit lalu menunjukkan sikap lemahnya dengan harapan sang singa akan melepaskan gigitannya. Baik singa maupun kehidupan tidak akan pernah melepaskannya. Sungguh menarik beberapa orang telah menemukan frasa reality bites, sehingga analogi yang diketengahkan pun setidaknya berdasar. Selain itu, grup band Queen dalam lagunya Bohemian Rhapsody menuliskan kata-kata no escape from reality.

Beberapa dari kita merasa Tuhan telah berlaku semena-mena dengan tanpa meminta pendapat dari kita tentang penciptaan. Sebagiannya lagi berpendapat sebaliknya, adalah kebaikan Tuhan semata di balik penciptaan kita.

Untuk kelompok yang pertama, sejak Tuhan itu Sang Pencipta maka tidak ada kewajiban atas diri-Nya meminta pendapat dari ciptaan-Nya. Oleh karena itu kata-kata ‘semena-mena’ menjadi absurd dan tidak relevan. Adapun untuk kelompok yang kedua—dan penulis akan merasa terhormat bila masuk kedalam kelompok ini—betapa tidak merupakan kebaikan dari Tuhan, Dia menjadikan kita sebagai opus magnum (mahakarya)-Nya. Dia mengizinkan citra-Nya tertanam dalam diri kita. Dia mempercayai kita untuk menzahirkan keagungan-Nya. Dia mengizinkan kita untuk menjadi sahabat-Nya, kekasih-Nya, bahkan penjelmaan-Nya melalui peleburan diri yang dalam bahasa agama dikenal sebagai liqa ila allah. Bukankah Tuhan itu Maha Baik?

Barangkali, ada keberatan dari kelompok yang pertama: tapi bukankah ada derita dan keburukan dalam kehidupan ini? bukankah ada neraka dan siksa di kehidupan yang kedua? mengapa semua itu mesti ada?

Justru adanya derita, keburukan dan siksa karena manusia adalah makhluk yang diberi free will. Derita adalah menjauhnya kita dari Tuhan sebagai sumber kebahagiaan; keburukan adalah menjauhnya kita dari Tuhan sebagai sumber kebaikan, dan siksa adalah menjauhnya kita dari kasih sayang Tuhan sebagai al-Rahman al-Rahimi.

Lepas dari itu semua, kasih Tuhan jauh melampaui semua konsekuensi diatas. Dia menyediakan jauh lebih banyak sarana dan kemudahan bagi kita untuk kembali mendekatinya bahkan setelah sekian jauh meninggalkan-Nya. Ampunan-Nya melingkupi semua konsekuensi hukum-hukum-Nya.

Para Pencari Tuhan berhasil mencapai pemahaman yang sempurna mengenai kehidupan karena mereka mengajukan sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaa tentang kita dengan tepat. Bila Descartes diriwayatkan pernah berkata ‘aku berpikir maka aku ada’, maka Para Pencari Tuhan barangkali akan berkata ‘aku bertanya maka aku ada.’

Terima kasih Winnie atas sms-nya! Kalimat terakhir ini sengaja diikutsertakan untuk mengurangi tambahan pertanyaan—setidaknya tentang siapa pengirim sms yang menjadi bahan tulisan bagi penulis :-)

Tinggalkan komentar